Rabu, 23 Desember 2009

HARTA BERSAMA

HARTA BERSAMA
PENDAHULUAN
Persoalan yang akan dibahas kali ini adalah tentang harta bersama, adanya apa yang disebut dengan harta bersama dalam istiadat dalam sebuah negeri yang tidak memisahkan antara hak milik suami dan istri. Harta bersama tidak ditemukan dalam masyarakat islam yang adat istiadatnya memisahkan antara harta suami dan istri dalam sebuah rumah tangga. Dalam masyarakat seperti ini, hak dan kewajiban dalam rumah tangga terutama yang berhubungan dengan pembelanjaan, diatur secara ketat. Harta pencarian suami selama dalam perkawinannya adalah harta suami, bukan dianggap harta bersama dengan istri. Istri berkewajiban memelihara harta suami yang berada dalam rumah. Bilamana istri mempunyai penghasilan, maka hasil usahanya itu tidak dicampur baurkan dengan harta suami tapi disimpan sendiri secara terpisah. Andaikan suatu saat suami mendapatkan kesulitan dalam pembiayaan maka jika suami memakai uang istri untuk menutupi pembiayaan rumah tangganya, berarti suami telah berhutang pada istri yang wajib dibayar kemudian hari. Dalam kondisi seperti ini, bilamana setelah seorang meninggal dunia, maka tidak ada masalah tentang pembagian harta bersama karena harta masing-masing telah berpisah dari semula.
Lain halnya dengan masyarakat islam dimana adat istiadat yangberlaku, dalam urusan rumah tangga tidak ada lagi pemisahan antara harta suami dan harta istri. Harta pencarian suami bercampur dengan harta hasil pencarian istri. Dalam rumah tangga seperti ini, rasa kebersamaan lebih menonjol dan menganggap akad nikah mengandung persetujuan kongsi dalam membina kehidupan rumah tangga. Dengan demikian, seluruh harta yang diperoleh setelah terjadinya akad nikah, dianggap harta bersama suami istri. Tanpa mempersoalkan jerih payah siapa yang paling banyak dalam usaha mencari harta itu.



PEMBAHASAN.
Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan. Hal ini diatur dalam pasal 35 UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu;
1.Harta Benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2.Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah / warisan sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dan pengertian pasal 35 diatas, dapat difahami bahwa segala harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan diluar harta warisan, hibah, dan hadiah merupakan harta bersama, karena itu harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan diluar harta warisan, hibah dan hadiah merupakan harta bersama, karena itu harta yang diperoleh suami dan istri berdasarkan usahanya masing-masing merupakan milik bersama suami dan istri. Lain halnya harta yang diperoleh masing-masing suami dan istri sebelum akad nikah yaitu harta asal / harta bawaan. Harta asal itu akan diwarisi oleh masing-masing keluarganya bila pasangan suami dan istri itu meninggal dan tidak mempunyai anak. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surah An-nissa’ ; 32;
                                                               
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Isyarat dari pengesahan ayat diatas, yang dijadikan sumber acuan pasal 85,86 dan 87 khi yaitu sbb:
Pasal 85 KHI
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menututup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri.

Pasal 86 KHI
1.Pada dasarnya tidak ada percampuran antra harta suami & harta istri karena perkawinan
2.Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian harta suami tetpa menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.

Pasal 87 KHI
1.Harta bawaan dan masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah warisan adalah dibawah kuasa masing-masing sepanjand para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
2.Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untukmelakukan perbuatan hukum atas harta masing-massing berupa hibah hadiah, shadaqah, dan untuk lainnya.




Mengenai penggunaan harta bersama suami istri / harta dalam perkawinan diatur dalam pasal 36 ayat (1) UUP, yang menyatakan bahwa mengenai harta bersama suami / istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Lain halnya dengan penggunaan harta asal / harta bawaan penggunaannya diatur dalam pasal 36 ayat (2) UUP, yang menyatakan bahwa menjelaskan tentang hak suami atau istri untuk membelanjakan harta bawaan masing-masing.
Hak suami/istri untuk membelanjakan harta bawaan masing-masing didalam KHI juga diatur secara rinci dalam pasal 89 & 90.
Pasal 89 KHI
“ Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri.”
Pasal 90 KHI
“ Istri turut bertanggungjawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya.”
Pengaturan kekayaan harta bersama diatur dalam pasal 91 KHI.
1.Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 diatas dapat berupa benda berwujud/tidak berwujud.
2.Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak, dan surat-surat berharga.
3.Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
4.Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Pasal 91 KHI diatas, dapat difahami bahwa adanya perbedaan kehidupan social di Jerman Nabi Muhammad dengan kondisi social saat ini, saat ini ditentukan harta berupa surat-surat berharga seperti ( polis, saham, cek,dll ). Oleh karena itu, pengertian harta kekayaan menjadi luas jangkauannya, sebab tidak hanya barang-barang berupa materi yang langsung dapat menjadi bahan makanan melainkan termasuk non materi berupa jasa dan sebagainya. Yang penting adalah penggunaan kekayaan dimaksud, baik kepentingan bersama harus selalu berdasarkan musyawarah sehingga akan tercapai tujuan perkawinan.
Kalau kekayaan bersama digunakan oleh salah satu pihak, tetapi tidak berdasarkan persetujuan pihak lainnya, maka tindakan hukum yang demikian tidak terpuji. Karena itu, baik suami maupun istri tanpa persetujuan keduanya dalam menggunakan harta bersama menurut hukum islam tidak diperbolehkan. Pasal 92 KHI mengatur mengenai persetujuan penggunaan harta bersama: “ suami istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama “.
Penggunaan harta bersama lebih lanjut diatur dalam pasal : 93, 94, 95, 96, & 97 KHI.
Pasal 93 KHI.
1.Pertanggung jawaban terhadap utang suami/istri dibebankan pada hartanya masing-masing.
2.Pertanggung jawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta bersama.
3. Bila harta suami tidak mecukupi, dibedakan kepada harta suami
4. Bila harta suami tidak ada atau tiadak mencukupi dibedakan kepada harta istri.
Pasal 94 KHI
1.Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing karena pisah dan berdiri sendiri.
2.Pemilikan harta bersama dari perkawina seorang suami yang memiliki istri yang lebih dari seorang sebagaimana tersebut pada ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawina yang kedua, ketiga atau yang keempat.
Pasal 95 KHI
1.Dengan tidak menggurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf C peraturan pemerintah no 9 thn 1995 & pasal : 196 ayat (2), suami atau istri bisa meminta pengadilan agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya pemohonan gugatan cerai, apa bila salah satunya melakukan perbuatan yang merugikan & membahayakan harta bersama misalnya judi, mabuk, boros dan sebagainya.
2.Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.

Pasal 96 KHI
1.Apabilla terjadi cerai mati, maka separuh harta besama menjadi hak pasangan hidup yang lama.
2.Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istrin yang istrinya atau suami hilang harus ditangguhkan sampai ada keputusan matinya yang hakiki atau matinya ssecara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

Pasal 97 KHI
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak dari seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawina.









Dalam pandangan Islam terhadap Harta Bersama
1.Harta Bersama dalam perundang-undangan.
Dalam pasal 119 KUHPerdata dikemukakan bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlakulah kesatuan bulat antara harta kekayaan suami & istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan dengan ketentuan lain. Persatuan harta kekayaan itu sepanjang perkawinan dilaksanakan dan tidak boleh ditiadakan / diubah dengan suatu perjanjian antara suami & istri apapun jika bermaksud mengadakan penyimpangan dari ketentuan itu suami istri itu harus menempuh jalan dengan perjanjian kawin yang diatur dalam pasal 139-154 KUHPerdata ( Abdul manan,2008;104 )
Menurut UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 35-37 dikemukakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Masing-masing suami istri terhadap harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah/warisan adalah dibawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami/istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu/tidak berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan kedua belah piahk. Dinyatakan pula bahwa suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur masing-masing kemudian dalam pasal 128-129 KUH Perdata, dinyatakan bahwa apabila putusnya tali perkawinan antara suami istri maka harta bersama itu dibagi dua antara suami istri tanpa memperhatikan dari pihak mana barang-barang kekayaan itu sebelumnya diperoleh.(ibid;105)
Berdasarkan hal tersebut diatas, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat 4 macam harta keluarga (gezims good ) dalam perkawinan ;
1.harta yang diperoleh dari warisan, baik sebelum mereka menjadi suami istri maupun setelah mereka melangsungkan perkawinan. Harta ini di Jawa Tengah disebut barang gawaan, di betawi disebut barang usaha, dibanten disebut dengan barang sulur, di Aceh disebut harta tuha/harta pusaka, dinganjuk dayak disebut petimbug.

2. harta yang diperoleh dengan keringat sendiri sebelum mereka menjadi suami istri. Harta yang demikian ini di Bali disebut disebut guna kaya ( lain dengan guna kaya di sunda ) disumsel dibedakan dengan harta milik istri ( harta penantian ) dan harta milik suami ( harta pembujangan ) sebelum menikah.
3. harta dihasilkan bersama oleh suami istri selama berlangsungnya perkawinan. Harta ini di Aceh disebut harta seuhareukat dibali disebut druwe gebru, di jawa disebut harta gono gini, diminangkabau disebut harta saurang, dimadura disebut ghuma ghuma, dan di sul-sel disebut barang cakkar.
4. harta yang didapat oleh pengantin pada waktu pernikahan dilaksanakan, harta ini menjadi milik suami istri selama perkawinan ( ibid;106-107).
Semua harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama, baik harta itu diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga dengan harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung, adalah menjadi harta bersama, tidak menjadi soal apakah istri/suami yang membeli dan yang mengetahui saat pembelian itu, serta atas nama siapa harta itu didaftarkan.

2.Harta Bersama dalam Hukum Islam
Dalam kitab-kitab suci tradisional, hart bersama diartikan sebagai harta yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan / dengan perikatan lain disebutkan bahwa harta harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu denga yang lain dan tidak dapat dibedakan lagi. Dasar hukumnya ; Qs.An-nissa;32 yang dibahas pada awal bagian diatas. Dimana jelas bahwa bagi semua laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan semua wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan pula.”(ibid;109).
Dikalangan madzhab syafi’i terdapat 4 macam yang disebut harta syarikat ( disebut juga syarikat, syarkat, syirkat ) yaitu;
1.Syarikat ’inan yaitu; dua orang yang berkongsi didalam harta tertentu, misalnya bersyarikat didalam membeli suatu barang dan keuntungannya untuk mereka.
2.Syarikat Abdan yaitu dua orang / lebih bersyarikat masing-masing mengerjakan suatu pekerjaan dengan tenaga dan hasilnya ( upahnya ) untuk mereka bersama. Menurut perjanjian yang mereka buat seperti tukang kayu, tukang batu, mencari ikan dilaut, berburu dan lain-lain.
3.Syarikat Mufawadlah, yaitu perserikatan dari 2(dua) orang / lebih untuk melakukan / melaksanakan suatu pekerjaan dengan tenaganya yang masing-masing diantara mereka mengeluarkan modal, menerima keuntungan dengan tenaga & modalnya, masing-masing melakukan tindakan meskipun tidak diketahui oleh pihak lain.
4.Syarikat wujub, yaitu syarikat atas tanpa pekerjaan ataupun harta yaitu permodalan dengan dasar kepercayaan pihak lain kepada mereka. ( ibid;110)

Simpulan.
Dapat disimpulkan bahwa harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri. Harta tersebut dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga sedang yang tidak berwujud bisa berupa hak atau kewajiban. Keduanya dapat dijadikan jaminan. Oleh salah satu pihak atas persetujuan dari pihak lainnya suami istri tanpa persetujuan dari salah satu pihak tidak diperbolehkan menjual/memindahkan harta bersama tersebut. Dalam hal ini suami maupun istri mempunyai pertanggungjawaban untuk menjaga harta bersama.
Dalam hal pertanggungjawaban hutang, baik terhadap hutang suami maupun istri, bisa dibedakan pada hartanya masing-masing, sedang terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga maka dibebankan pada harta bersama. Akan tetapi, bila harta bersama tidak mencukupi, maka dibebankan pada harta suami. Bila harta suami tidak ada/ tidak mencukupi, maka dibebankan pada harta istri. ( selamet abidin.1999;183)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar